Orang Islam Indonesia pada umumnya jika selesai menunaikan Ibadah Haji, maka sering di panggil Pak Haji Fulan atau Ibu Hajah Fulanah, bahkan ada sebagian orang yang dengan sengaja menambahkan gelar Haji di depan namanya untuk penulisan dalam dokumen atau surat-surat penting dengan berbagai alasan, diantaranya ada yang mengatakan itu merupakan Syiar, supaya orang tertarik untuk segera mengikuti menunaikan ibadah haji, ada pula yg beralasan bahwa Ibadah Haji adalah Ibadah yang besar dan memerlukan biaya besar jadi orang tersebut merasa rugi kalau namanya tidak memakai gelar Haji/Hajah, atau jaman dulu masih sedikit orang yang mampu (dalam hal materi) mengeluarkan biaya untuk menunaikan Ibadah haji, sehingga jarang sekali orang yang bisa melaksanakan haji, maka jika pada suatu desa atau kampung ada orang Islam yang menunaikan Haji dan di kampungnya atau desanya hanya dia satu-satunya yang pernah menunaikan Haji, maka jika di kampung/desa itu di sebutkan Pak Haji (tanpa menyebut nama aslinya) maka sekampung/sedesa pasti tahu siapalah orang yang di maksud Pak Haji itu.
Padahal Ibadah Haji itu tidak berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain seperti : - Sahadat - Sholat - Puasa - Zakat - Haji
Ternyata Ibadah Haji itu merupakan salah satu dari rukun Islam yang diwajibkan Allah. Jadi jika ada orang menunaikan Haji terus namanya harus di tambahkan Haji, kalau begitu alasannya semestinya jika dia menunaikan ibadah-badah yang lain juga di tambahkan ke dalam namanya, seperti Zakat, puasa, Sholat dan Sahadat (mengapa cuma haji ??? yang dipakai sebagai gelar).
Adakah Rasulullah memakai gelar Haji, pernahkan anda dengar sahabat menggunakan gelar Haji juga (misal: Haji Nabi Muhammad SAW.; atau para sahabatnya Haji Umar Bin Khotob; Haji Abu Bakar; Haji Usman Bin Afan; Haji Ali Bin Abitholib), padahal beliau beberapa kali menunaikan Ibadah Haji. Jadi sebaiknya kita ikuti contoh Rasulullah dan para sahabatnya yang beliau tidak pernah menyandang gelar Haji. Semoga Haji Kita Jadi Mabrur (terhindar dari Riya dan terhindar dari niat kepada selain Allah).
Kirim Pahala
Biasanya ritual Kirim Pahala ini dilakukan jika ada kematian sesama saudara yang beragama Islam (seperti : 3, 40, 100 dan 1000 hari kematiannya) maka diundanglah tetangga untuk diminta membacakan Tahlil dan surat Yasin, kemudian pahalanya di kirimkan buat orang yang sudah meninggal. Padahal dalam ajaran islam dalilnya sudah jelas:
Hanya 3 itulah amalan seseorang akan terus mengalir pahalanya walaupun sudah meninggal. Akan tetapi masih banyak orang islam menyanggah dalil tersebut, dengan mengatakan bahwa do’anya anak yang sholeh itu ditafsirkan bahwa setiap orang Islam yang rajin beribadah itu adalah anak yang sholeh, sehingga tidak salah kalau keluarganya memanggil orang islam untuk membaca tahlil dan Yasin agar pahalanya dikirimkan kepada orang yang telah meninggal. Coba mari kita kaji dalil tersebut, kalau benar yang di maksud dengan kalimat anak yang sholeh itu pengertianya sama dengan orang Islam yang tekun beribadah, tentu dalilnya akan berbunyi Do’anya Orang yang Sholeh bukan Do’anya Anak yang Sholeh, jadi jelas bahwa pengertian Do’anya Anak yang Sholeh di sini tidak lain yang di maksud adalah Anak kandung dari orang yang meninggal tersebut. Mengapa Allah menentukan bahwa hanya Do’anya Anak kandungnya yang Sholeh, di dalam Islam orang tua mempunyai peranan dalam menjadikan anakkan (menjadi Majusi, Nasroni atau Yahudi), di dalam Islam Orang tua punya kuajiban mendidik anaknya menjadi Anak yang Sholeh, sebab bisa jadi orang Islam, tetapi anak-anaknya karena tidak pernah di perhatikan pendidikan agamanya maka tidak jarang orang Islam tetapi anaknya kafir.
Jadi seandainya dalil di atas itu pengertian Do’anya Anak yang Sholeh itu adalah orang lain ? (bukan anak kandung) asal mereka sholeh, tentu beruntung besar orang-orang kaya, bisa bayar banyak orang untuk kirim pahala.
Surat Yasin itu sendiri adalah sebagian dari Al-Qur’an, yang sudah jelas Allah anjurkan bagi setiap muslim untuk di baca dan di pelajari serta diamalkan, tentunya dari pada merepotkan harus bayar orang untuk membacakan Yasin nanti seseorang kalau sudah meninggal, apa tidak lebih baik sejak masih kecil hingga dewasa orang yang mengaku Islam itu banyak-banyak baca Al-Qur’an (atau baca Yasin saja sendiri dari sekarang selagi hidup, jadi kalau meninggal tidak perlu lagi dibacakan Yasin dan Tahlil, mengapa mesti menunggu mati baru sibuk dibacakan yasin ??? ) padahal kita semua tahu, bahwa kita semua bakalan mati.
Sebenarnya siapa saja sesama muslim boleh mendo’akan saudaranya yang seiman dan seagama, dan do’a yang di baca itu bukan Yasin dan Tahlil, sebab Yasin dan tahlil itu maknanya hanya untuk orang yang masih hidup, Yasin (bagian dari Al-Quran = Petunjuk hidup buat orang Islam, sedang Tahlil = kalimat Sahadat/Tauhid) jadi bukan untuk petunjuk orang yang sudah mati.
Jadi berdo’a agar saudaranya yang meninggal agar di jauhkan dari azab kubur dan siksa api neraka itu boleh, yang tidak ada ajarannya dari Rasulullah yaitu KIRIM PAHALA, dengan membaca Yasin dan Tahlil (untuk mengetahui lebih banyak tentang fadhilah surat Yasin, silahkan buka web berikut:
http://assunnah.or.id/artikel/masalah/33yasin.php
Sementara di dalam surat Yasin sendiri terdapat ayat yang menerangkan, bahwa yasin adalah peringatan buat yang hidup, bukan untuk yang sudah mati:
“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir” (Yasin: 70)
Berjabatan Tangan Sehabis Sholat
Di masjid-masjid dan di surau atau tempat sholat berjama’ah lainnya di Indonesia kebiasaan berjabatan tangan sehabis sholat sering di lakukan, padahal berjabatan tangan itu sendiri bukan bagian dari sholat.
Yang di contohkan Rasulullah kalau seseorang selesai sholat adalah membaca wirid/dzikir, diantaranya Subkhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar. Jadi kalau ada orang yang selesai sholat kemudian mengajak berjabatan tangan hal itu sebenarnya mengganggu orang yang sedang membaca wirid/dzikir, padahal orang yang sedang wirid/dzikir itu sama halnya masih dalam keadaan menghadap Allah sebagaimana sholat (pantaskah kita dalam keadaan menghadap Allah, kemudian di potong atau di selingi untuk menghormati orang lain yang mau mengajak berjabatan tangan) Lebih penting mana / lebih pantas mana kita mendahulukan menghadap Allah (wirid/dzikir) atau menghormati orang lain ???
Ibnu Hajar berkata, “Apa yang dikerjakan manusia berupa jabat tangan setelah shalat lima waktu adalah perkara yang dibenci, tidak ada landasannya dalam syariat.”
Perlu diperingatkan bahwa tidak boleh bagi seorang Muslim memutuskan tasbih (dzikir) saudaranya yang Muslim kecuali dengan sebab syar’i. Namun demikian bukanlah termasuk hikmah jika kita menolak bersalaman dengan tangan yang sudah terulur kepada kita, karena ini merupakan sikap yang kasar yang tidak dikenal dalam Islam. Akan tetapi ambillah tangannya dengan lemah lembut dan jelaskan kepadanya kebid’ahan jabat tangan ini yang diada-adakan manusia.
Tidakkah akan lebih baik berjabatan tangannya setelah selesai wirid/dzikir ???